Kilasbisnis.com, Surabaya - Program **Kawasan Tanpa Rokok (KTR)** yang sudah diterapkan lebih dari satu dekade di Indonesia dinilai belum berjalan efektif. Meski 449 dari 514 kabupaten/kota atau sekitar 86 persen telah memiliki regulasi KTR, angka perokok masih tinggi dan bahkan meningkat di kalangan remaja.
Di lapangan, aturan KTR juga masih sering dilanggar. Aktivitas merokok masih ditemukan di rumah sakit, sekolah, kantor pelayanan publik, hingga ruang sidang DPRD.
Minimnya sosialisasi, lemahnya penegakan hukum, serta ketiadaan mekanisme pelaporan membuat regulasi ini belum berdampak nyata.
Pemerhati ekosistem tembakau, **Hananto Wibisono**, menilai kebijakan KTR belum menyentuh masyarakat secara langsung.
“ KTR ini masih sebatas simbol. Aturannya ada, tapi penerapannya lemah sehingga tidak mengubah perilaku masyarakat,” ujarnya.
Selain faktor penegakan, kebijakan pengendalian tembakau juga berhadapan dengan tantangan ekonomi.
Ekosistem pertembakauan masih menjadi sumber penghidupan bagi jutaan orang, mulai dari petani tembakau hingga industri rokok legal.
Sejumlah daerah bahkan menggantungkan pendapatan asli daerah dari cukai rokok, sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) menjadi salah satu sumber utama pembiayaan program kesehatan dan pendidikan.
Hananto menambahkan, pemerintah perlu mengevaluasi pendekatan KTR agar lebih relevan dan berdampak nyata.
Menurutnya, penegakan hukum yang konsisten, sosialisasi berbasis komunitas, serta integrasi dengan strategi transisi ekonomi di daerah penghasil tembakau menjadi langkah penting yang harus segera dilakukan.
“Kawasan Tanpa Rokok akan menjadi kebijakan yang efektif bila ia tumbuh dari kesadaran, bukan sekadar larangan. Dan pengendalian konsumsi tembakau hanya akan berhasil jika dibarengi dengan keberpihakan pada keadilan ekonomi dan transisi yang manusiawi,” ujar Hananto.
Editor : Redaksi