Kilasbisnis.com, Surabaya – Kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo (23) yang diduga akibat penganiayaan oleh seniornya di asrama Yon Batalyon Teritorial Pembangunan (TP) 834 Waka Nga Mere, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), menarik perhatian publik. William Yani Wea, tokoh muda asal NTT, mendesak agar kasus ini diusut secara tuntas.
William, yang akrab disapa Willy, menegaskan tidak boleh ada kekerasan dalam bentuk apa pun di Indonesia, apalagi sampai menimbulkan kematian. Ia meminta Panglima TNI untuk segera melakukan penyelidikan mendalam atas kematian Prada Lucky.
“TNI memang mendidik prajurit dengan disiplin dan keras, tapi harus terukur. Kekerasan yang melukai atau mematikan tidak boleh terjadi,” ujar Willy dalam keterangannya, Minggu (10/8/2025).
Willy menambahkan, sebagai tentara rakyat, TNI harus bersikap humanis, baik terhadap masyarakat maupun sesama prajurit. Menurutnya, saat ini adalah era tentara profesional yang tidak lagi membenarkan kekerasan fisik dalam pembinaan.
“Menjaga fisik itu wajib, tapi bukan dengan kekerasan. Ini era tentara profesional,” tegasnya.
Putra almarhum Jacob Nua Wea ini juga mengimbau Panglima TNI dan jajaran terkait untuk melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian Prada Lucky. Ia berharap ada evaluasi dan pembenahan sistem pengawasan serta pembinaan internal di markas Yon TP 834/WM.
“Budaya kekerasan sudah harus dihapus dari institusi militer, Polri, dan sekolah kedinasan. Pembinaan wajib dilakukan tanpa kekerasan. Materi penghormatan terhadap hak asasi manusia perlu diberikan agar prajurit memahami batas antara pembinaan dan kekerasan,” pungkas Willy, yang juga Ketua Umum Serikat Pekerja Informal Migran dan Pekerja Profesional Indonesia (SP IMPPI) serta kandidat doktor di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Sementara itu, Sub Denpom Kupang telah menahan beberapa prajurit senior yang diduga terlibat dalam penganiayaan Prada Lucky. Prada Lucky sendiri baru dua bulan menjadi anggota TNI setelah lulus Secata di Singaraja, Bali. Ia merupakan putra dari Serma Christian Namo, yang harus merelakan kepergian anaknya bukan karena gugur di medan perang, melainkan akibat penganiayaan sesama prajurit di barak.
Editor : Redaksi