Sumber gambar : BI
Kilasbisnis.com, Jakarta — Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada tanggal 18-19 Oktober 2023 telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) atau suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6,00 persen. Selain itu, suku bunga Deposit Facility dan Lending Facility juga dinaikkan sebesar 25 basis poin masing-masing menjadi 5,25 persen dan 6,75 persen.
Kebijakan ini diumumkan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers pada Kamis (19/10/2023) di Jakarta setelah berlangsungnya Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung selama dua hari.
"Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia tanggal 18-19 Oktober 2023, diputuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 6,00 persen," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers pada Kamis (19/10/2023), yang disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Bank Indonesia.
Keputusan ini diambil untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah menghadapi meningkatnya ketidakpastian global. Bank Indonesia menyebutkan bahwa perekonomian global sedang melambat dan pertumbuhan antarnegara semakin tidak seimbang, serta tingkat ketidakpastian semakin meningkat.
Selain untuk mengatasi pelemahan Rupiah, kenaikan suku bunga ini juga merupakan langkah pre-emptive dan forward-looking untuk mengendalikan inflasi barang impor sehingga inflasi IHK agar tetap dalam sasaran 3,0±1% pada tahun 2023 dan 2,5±1% pada tahun 2024.
"Kenaikan suku bunga ini bertujuan untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah dari dampak meningkatnya ketidakpastian global, serta sebagai langkah pre-emptive dan forward-looking untuk mengendalikan inflasi barang impor, sehingga inflasi tetap dalam sasaran tiga persen plus minus satu persen pada sisa tahun 2023 dan dua setengah persen plus minus satu persen pada tahun 2024," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo.
Lebih lanjut, perubahan arah kebijakan BI ini juga merupakan respons terhadap dinamika global yang cepat dan tidak terduga, sehingga memerlukan kebijakan moneter yang tepat dari bank sentral.
"Dinamika global yang sangat cepat dan sangat tidak terduga memerlukan respons yang tepat dari kebijakan moneter bank sentral. Pada RDG bulan lalu, kami telah menyampaikan apa yang kami lihat dengan informasi terbaru pada saat itu," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
Perry juga menyebutkan lima poin utama terkait dengan pesatnya dinamika global. Pertama, laju pertumbuhan ekonomi global diprediksi melambat menjadi 2,9 persen pada tahun 2023 dan 2,8 persen pada tahun 2024.
Kedua, terjadi peningkatan ketegangan geopolitik, terutama eskalasi konflik antara Israel dan Hamas, yang menyebabkan kenaikan harga energi dan pangan, sehingga inflasi global tetap tinggi.
Ketiga, kebijakan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve, diproyeksikan akan tetap tinggi dalam jangka waktu yang relatif lama, yang disebut fenomena higher for longer.
Keempat, tingkat imbal hasil obligasi aset negara maju meningkat seiring dengan tingkat suku bunga acuan bank sentral yang tetap tinggi, seperti peningkatan tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS dengan tenor 10 tahun mencapai sekitar 4,8 persen.
Kelima, terjadi aliran modal asing keluar dari pasar keuangan negara berkembang, yang menekan pergerakan mata uang negara berkembang yang cenderung melemah terhadap dolar AS.
Sementara itu, Bank Indonesia melihat bahwa perekonomian Indonesia diprediksi akan tetap tumbuh dengan baik dan tahan terhadap dampak meningkatnya ketidakpastian global. Bank Indonesia mengungkapkan bahwa pada kuartal III 2023, pertumbuhan ekonomi domestik didukung oleh konsumsi swasta yang meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi di sektor jasa dan kepercayaan konsumen yang tetap tinggi. Selain itu, dari segi investasi, pertumbuhannya dinilai baik dengan penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sejalan dengan itu, Perry menyatakan bahwa kebijakan makroprudensial yang longgar diperkuat dengan efektivitas implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan penurunan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk mendorong kredit pembiayaan lebih lanjut bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, digitalisasi sistem pembayaran terus ditingkatkan untuk memperluas inklusi ekonomi dan keuangan digital, termasuk digitalisasi transaksi keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
"Akselerasi digitalisasi sistem pembayaran juga terus ditingkatkan untuk memperluas inklusi ekonomi dan keuangan digital, termasuk digitalisasi transaksi keuangan pemerintah pusat dan daerah," ujar Perry.
Perry juga menyatakan pentingnya koordinasi dan sinergi antara kebijakan Bank Indonesia dan kebijakan fiskal Pemerintah, termasuk penguatan koordinasi dalam pengendalian inflasi melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah, serta koordinasi dalam akselerasi digitalisasi transaksi keuangan melalui Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Transaksi Pemerintah Pusat dan Daerah. (Dhe)
Editor : Redaksi