Kilasbisnis.com, Surabaya - Hari itu, Minggu pagi, Surabaya belum sepenuhnya bangun. Tapi di sudut-sudut kampung, di gang-gang sempit yang kadang luput dari peta pembangunan, suara anak-anak mulai terdengar. Bukan suara rengek, bukan pula suara keluh. Tapi suara tawa, suara harapan, suara anak-anak kampung yang—untuk sekali ini—ingin didengar oleh negeri.
Tahun ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengubah tradisi. Tak lagi hanya satu kota yang jadi pusat perayaan Hari Anak Nasional (HAN) ke-41, tapi serentak di seluruh penjuru negeri. Dari Sabang sampai Merauke, dari desa ke kota, dari sekolah ke komunitas, semua diajak merayakan. “Anak-anak harus merasakan kehadiran negara, bukan hanya di pusat, tetapi juga di tempat mereka tinggal dan tumbuh,” kata Titi Eko Rahayu, Sekretaris Kemen PPPA. Negara, katanya, bukan sekadar simbol. Negara harus nyata, hadir, dan melindungi.
Di Surabaya, perayaan itu terasa berbeda. Bukan di balai kota, bukan di hotel mewah. Tapi di jantung kampung-kampung padat penduduk: Tambak Mayor, Pulo Wonokromo Wetan, Tales, Lebak Arum Barat, Joyoboyo, Dupak, Sidotopo. Anak-anak dari berbagai kelompok belajar—Pijar, Sanggar Merah Merdeka, Sanggar Alang-alang, LKD—berkumpul. Mereka tidak menunggu undangan resmi. Tidak menunggu panggung megah. Mereka bergerak sendiri, secara mandiri, secara kolektif. Ingin menunjukkan: anak kampung juga punya hak yang sama.
Mereka menggelar pawai. Temanya sederhana tapi dalam: “Suara Anak Kampung Membangun Negeri; Berani Berkarya, Berani Bersuara, Perjuangkan Asa.” Tema yang lahir dari kegelisahan. Karena anak-anak kampung, di tengah gegap gempita pembangunan kota, sering hanya jadi penonton. Kadang, malah jadi korban. Padahal, mereka juga punya mimpi. Mereka juga ingin ruang yang layak, fasilitas yang setara, tanpa dibedakan latar belakang sosial, ekonomi, suku, ras, agama, atau budaya.
Pawai dimulai dari Pulo Wonokromo Wetan. Anak-anak berjalan beriringan, melewati gang-gang sempit, membawa banner dan poster buatan sendiri. Isi pesannya? Menggetarkan: 'Semua Anak Masa Depan Bangsa, Ajari Kami Bahasa Tanpa Kekerasan, Kami Butuh Kasih Sayang, Bukan Sekadar Nafkah'.
“Pawai ini bukan sekadar jalan-jalan,” kata Dini Larasati, ketua pelaksana. “Kami ingin melatih keberanian anak-anak untuk bersuara di muka umum, memperjuangkan hak, membangun kesadaran kolektif bahwa perlindungan anak itu penting.” Sekitar 60 anak, dari SD sampai SMA, ikut dalam pawai ini.
Hari Anak Nasional 2025, bagi anak-anak kampung di Surabaya, bukan sekadar seremoni. Ini adalah panggung kecil mereka. Panggung di mana suara mereka, untuk sekali ini, benar-benar didengar. Bukan hanya oleh orang tua di rumah, tapi oleh seluruh negeri. Karena mereka percaya, masa depan bangsa ini, juga lahir dari gang-gang sempit. Dari suara anak-anak kampung yang berani bermimpi dan berani bersuara. (Robet)
Editor : Redaksi