Kilasbisnis.com, Surabaya - Bayangkan jika ekonomi syariah bukan sekadar alternatif, melainkan suatu kebutuhan yang mendesak. Ini adalah pesan kuat dari Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto. "Literasi ekonomi syariah di Indonesia masih terbilang rendah. Padahal, ini seharusnya sudah menjadi kebutuhan, bukan lagi pilihan," ujarnya, saat membuka acara TalkShow di Graha Kadin Jatim Surabaya.
Acara bertema "Building Resilience and Strategic Pathways in the Digital Islamic Economy Amid the Trade War Era" itu menghadirkan dua pembicara dari dunia akademis, yakni Prof. Dr. Muhammad Nafik Hadi Ryandono dan Clarashinta Canggih, yang mendalami ekonomi syariah. Mereka memaparkan pandangan tentang bagaimana tren halal dan digitalisasi ekonomi kini kian berkembang.
Dilema pasar terhadap sertifikasi halal menjadi salah satu contoh yang dibahas. Menurut Adik, hal ini sudah bukan lagi sebatas regulasi, melainkan tuntutan pasar. Bahkan sektor logistik pun perlu beradaptasi karena banyak industri ekspor kini mensyaratkan sertifikat halal dalam seluruh rantai pasoknya, termasuk transportasi.
Di tengah diskusi yang akrab, Adik juga menyoroti keterbatasan ekonomi syariah di dunia digital. Meski transaksi e-commerce di Indonesia mencapai lebih dari Rp 700 triliun per tahun, hanya 15–20% yang bisa diserap oleh pelaku ekonomi syariah. "Banyak dari kita, termasuk saya, belum sepenuhnya paham apakah transaksi digital syariah bisa dilakukan tanpa tatap muka," tuturnya sambil tersenyum.
Prof. Nafik menambahkan, ekonomi Islam sejatinya menawarkan etika universal yang menekankan kejujuran, keadilan, dan kerja sama. "Bisnis menurut Islam harus didasari kejujuran, bukan tipu-menipu atau eksploitasi," jelasnya. Ia menegaskan bahwa prinsip ekonomi Islam tidak hanya untuk umat Islam, tetapi bagi khayalan luas, sejalan dengan ajaran Al-Qur'an yang menyerukan keseimbangan antara keuntungan duniawi dan spiritual.
Namun, tantangan masih besar. Pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia baru menyentuh angka sekitar 6,5%. "Ini soal literasi. Banyak yang belum bisa membedakan secara jelas antara sistem bunga dan bagi hasil," Adik menekankan. "Edukasi sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan dengan pola konsumsi halal, menjadi kuncinya."
Clarashinta Canggih melihat potensi besar ekonomi syariah di Indonesia dengan jumlah umat Muslim lebih dari 200 juta jiwa. "Kita punya sumber daya alam dan manusia yang memadai. Jika dikembangkan dengan nilai-nilai Islam, ekonomi syariah kita bisa jadi raksasa ekonomi global," ujarnya optimis.
Ia mengatakan bahwa walaupun pemerintah telah menyiapkan Masterplan Ekonomi Syariah 2019–2024, tantangan terbesar tetap pada literasi ekonomi syariah masyarakat. "Ketika pengetahuan meningkat, minat dan keterlibatan dalam sistem ini pun akan berkembang."
Untuk mencapai cita-cita ini, perlu ada peningkatan literasi ekonomi syariah dan dukungan politik yang solid. Indonesia harus bergerak menjadi penggerak, bukan sekadar penonton dalam ekonomi syariah dunia. Apakah kita siap untuk tantangan ini? (Kar)
Editor : Sekar Arum Catur