Kilasbisnis.com, Surabaya - Suasana hangat menyelimuti Aula Pasar Burung Gang Dolly, Surabaya, Minggu pagi, 12 Oktober 2025. Di tengah deretan kios dan hiruk-pikuk pasar, puluhan anak tampak antusias mengikuti peresmian Sekolah Budaya Anak Gang Dolly, sebuah inisiatif pendidikan alternatif yang lahir dari semangat kolaborasi lintas komunitas.
Pendidikan Karakter dari Jantung Kampung Dolly
Program ini digagas oleh Fakultas Psikologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) bersama Binar Community, Tim Pandawa, dan RW XII Kampung Dolly, dengan dukungan Pertamina Foundation serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Surabaya.
Selama tiga bulan ke depan, setiap Sabtu, sebanyak 35 anak binaan akan mengikuti kegiatan belajar berbasis budaya di kawasan yang dulu dikenal sebagai lokalisasi terbesar di Surabaya itu.
“Anak-anak di sini punya potensi besar untuk berkembang jika diberi ruang belajar yang sesuai dengan dunia mereka,” ujar Fitrania Maghfiroh, dosen Fakultas Psikologi Unesa yang menjadi perwakilan program. “Pendekatan berbasis budaya membuat mereka lebih mudah memahami nilai-nilai kehidupan dan karakter.”
Nilai Pandawa di Balik Kurikulum
Sekolah ini mengusung konsep Culture-Based Learning dengan menjadikan lima tokoh Pandawa —Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa—sebagai simbol nilai karakter.
Melalui kisah dan permainan tradisional, anak-anak diajak mengenal kejujuran, keberanian, kepemimpinan, kreativitas, dan empati, tanpa tekanan akademik seperti sekolah formal. Evaluasi dilakukan melalui interaksi sosial dan pengamatan perilaku sehari-hari.
“Anak-anak di sini adalah calon pemimpin masa depan,” kata M. Faiz Chisshomudhin dari Tim Pandawa. “Kami ingin mereka tumbuh dengan akar budaya yang kuat dan karakter yang berintegritas.”
Dukungan dari Warga dan Akademisi
Ketua RW XII Kampung Dolly, Cahyo Andrianto, menyebut program ini sebagai langkah nyata memutus rantai kemiskinan sosial di lingkungannya.
“Kami ingin membentuk anak-anak yang berani, cerdas, dan berakhlak. Sekolah budaya ini menjadi wadah penting bagi masa depan mereka,” ujarnya.
Dari sisi akademik, Fakultas Psikologi Unesa turut mendukung melalui program CSR—mulai dari pendampingan psikologis hingga pemberdayaan relawan mahasiswa.
Dari Observasi Lapangan ke Gerakan Sosial
Inisiatif ini berawal dari kegiatan rutin mahasiswa Unesa yang mengajar anak-anak di kawasan Dolly. Dari pengamatan itu, muncul kesadaran bahwa pendekatan berbasis budaya lebih efektif dibandingkan metode konvensional.
“Mereka lebih tertarik pada cerita rakyat dan permainan tradisional ketimbang media sosial,” kata Rifda Haura Fathina Besri, Wakil Presiden Binar Community sekaligus sekretaris program. “Dari sanalah ide sekolah budaya ini lahir.”
Menuju Model Pendidikan Alternatif
Program Sekolah Budaya Anak Gang Dolly sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin ke-4 tentang Pendidikan Berkualitas dan poin ke-10 tentang Pengurangan Kesenjangan.
Melalui kolaborasi ini, para penggagas berharap model pendidikan berbasis budaya dapat direplikasi di wilayah marginal lain di Indonesia.
“Harapannya, sekolah budaya ini tak berhenti di Dolly. Kami ingin ia menjadi ruang belajar yang hidup, tempat anak-anak menemukan jati diri mereka di tengah arus modernisasi.” tutup Rifda.
Editor : Sekar Arum Catur